OPINI – Penulis lahir dan besar di Provinsi Kepulauan Riau (KEPRI), sebuah provinsi yang kaya akan keindahan Bahari dan kearifan lokal. Ribuan pulau di sana bukan sekadar bentangan geografis di atas peta, melainkan rumah bagi masyarakat pesisir, ruang hidup yang diwariskan secara turun temurun.
LIDIKNUSANTARA.COM – Pulau-pulau itu adalah saksi bisu dari kisah-kisah nelayan yang menggantungkan hidup pada hasil laut, dari anak-anak yang tumbuh di pesisir, hingga para tetua yang menjaga adat dan cerita masa lalu.
Sayangnya, di tengah modernisasi yang kerap dibungkus jargon pembangunan yang rakus, serta praktik jual beli pulau yang melecehkan suatu kedaulatan bangsa Indonesia.
Belum lama ini, penulismembaca di salah satu media nasional yang membuat hati penulismenjadi miris. Dua buah pulau yang berada di Kabupaten Kepulauan Anambas yakni pulau Ritan dan Pulau Tokong Sendok yang dijual secara terang-terangan di situs asing privateislandsonline.com.
Pulau pulau itu dipromosikan sebagai surga bagi investor luar, seolah-olah tidak ada sejarah, tidak ada masyarakat yang hidup di sekitarnya dan tidak ada nilai ekologis yang mesti dijaga.
Timbul pertanyaan untuk saat ini, Apakah pulau-pulau kecil kita kini bisa diperdagangkan seperti property pribadi? Apakah kedaulatan negara tidak lagi bermakna di hadapan uang?
Pada sisi lain, ancaman tambang di KEPRI juga sangat mengkhawatirkan. Data dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menunjukkan hingga saat ini terdapat hamper lebih kurang 30 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah mengkapling pulau-pulau kecil di Provinsi KEPRI.
Mulai dari Pulau Serasan, Subi Besar, Karimun Besar, Pulau Bintan hingga beberapa pulau kecil di wilayah Lingga dan Natuna, yang saat ini diburu tambang pasir kuarsa, bauksit, granit dan sebagainya.
Banyak pulau dengan ekosistem rapuh dan keanekaragaman hayati tinggi kini terancam oleh penggalian yang tak memperhatikan daya dukung suatu lingkungan.
Paradigma Pembangunan Ekstraktif di Pulau-Pulau Kecil
Sebagai pemuda yang tumbuh di Provinsi KEPRI, penulis melihat bahwa pertambangan di pulau-pulau kecil bukan hanya merusak lingkungan fisik belaka, melainkan juga menghancurkan ekosistem sosial masyarakat pesisir.
Deforstasi untuk tambang dapat mempercepat terjadinya bencana erosi, mengancam habitat asli terumbu karang dan mencemari perairan, naiknya permukaan laut yang dipicu oleh krisis iklim yang diperparah oleh pengundulan hutan, sehingga banyak wilayah pesisir yang kini kian rentan tenggelam.
Dalam jangka panjang, masyarakat pesisir bisa kehilangan ruang tangkap ikan, kehilangan sumber penghidupan dan bahkan harus menghadapi kriminalisasi bila mereka berani bersuara menentang tambang.
Beberapa hari yang lalu penulisingat bagaimana kondisi serupa pernah terjadi di wilayah Raja Ampat. Di sana, pertambangan dapat menyebabkan sedimentasi berat yang merusak terumbu karang dan mengurangi pendapatan nelayan.
Bila model pembangunan ekstraktif ini di teruskan di Provinsi KEPRI, dampaknya akan jauh lebih massif, mengingat wilayah KEPRI yang 96% merupakan wilayah perairan, dengan lebih dari 2408 pulau kecil yang saling terhubung secara ekologis. Bila satu pulau rusak, maka kerusakan iru akan menghambat ke wilayah perairan yang lebih luas.
Sebagaimana diingatkan oleh David Harvey, saat ini kits tengah menghadapu gejala accumulation by dispossession yakni akumulasi modal melalui perampasan ruang public dan sumber daya alam.
Pulau-pulau yang sejak lama menjadi ruang hidup kolektif masyarakat kini direduksi menjadi objek ekonomi yang diperebutkan oleh korporasi besar.
Masyarakat lokal semakin terpinggirkan, sementara para pemodal terus memperkaya diri. Bila negara membiarkan proses ini berlangsung, maka negara telah gagal menjalankan mandat konstitusi, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam didalamnya harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan segelintir elit.
Ekonomi Biru sebagai Alternatif Masa Depan
Sesungguhnya Provinsi KEPRI tidak perlu bergantung pada hasil pertambangan. Potensi ekonomi biru di Provinsi KEPRI jauh lebih besar dan berjangka panjang.
Studi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama UNDP pada tahun 2022 mencatat bahwa potensi ekonomi biru KEPRI dapat mencapai Rp6-8 Triliun per tahun.
Potensi ini bisa digali melalui pengembangan wisata Bahari kelanjutan, budidaya laut ramah lingkungan, konservasi ekosistem laut serta penguatan konektivitas maritim dengan negara tetangga.
Model pembangunan berbasis ekonomi biru bukan hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjaga keseimbangan ekologi yang melibatkan masyarakat lokal secara aktif.
Melalui penguatan Pelabuhan rakyat, peningkatan kapasitas nelayan, pengembangan industry kreatif berbasis Bahari serta digitalisasi informasi pariwisata, Provinsi KEPRI bida menjad contoh provisni maritim yang maju tanpa harus merusak lingkungan.
Namun sayangnya, paradigma pembangunan yang dominan saat ini masih terjebak pada logika ekstraksi, segala sesuatu yang ada di dalam tanah atau di dasar laut dianggap harus ditambang untuk mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek.
Akibatnya pulau-pualu kecil yang seharusnya menjadi ruang hidup dan ruang budaya masyarakat pesisir kini dipandang sebagai suatu komoditas yang bisa diekploitasi atau bahkan diperjualbelikan.
Mari Kita Jaga Pulau Kita
Sebagai pemuda KEPRI, penulis merasa inilah saat yang tepat untuk bersuara. Kita tidak boleh diam menyaksikan rumah kita dijarah. Pulau-pulau kecil kita bukanlah barang dagangan, laut kita bukan kolam tambang.
Kita perlu pembangunan yang berbasis keberlanjutan, yang menghormati hak-hak masyarakat pesisir yang menjaga keseimbangan ekologi dan berpihak pada masa depan generasi muda.
Kita harus berani mengatakan, “Cukup! Tidak semua yang ada dibawah tanah harus diangkat ke permukaan. Tidak semua pulau harus menjadi resort pribadi atau lokasi tambang.”
Penulis percaya bahwa perubahan bisa terjadi bila public Bersatu. Pemerintah harus segera mengkaji ulang semua IUP di pulau-pulau kecil dan memberlakukan moratorium tambang. Praktik jual-beli pualu harus dihentikan dengan tegas.
Regulasi pengelolaan pulau kecil sesuain dengan UU no 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pualu Kecil harus diteggakkan, bukan hanya diabaikan.
Kita juga perlu mengembangkan ekonomi biru yang inklusif, berbasis masyarakat dan ramah lingkungan yang benar-benar bermanfaat bagi rakyat KEPRI, bukan hanya untuk para pemodal.
Saat ini di tengah krisis iklim global, menjaga pulau-pulau kecil adalah bagian dari tanggung jawab kita terhadap masa depan seperti dikatakan oleh Mahatma Gandhi: “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua manusia, tetapi tidak untuk memenuhi keserakahan satu orang”.
Maka penulis mengajak seluruh pemuda KEPRI, Mahasiswa, para Aktivis lingkungan, nelayan dan seluruh elemen masyarakat untuk berdiri bersama. Mari kita jaga pulau-pualu kita. Mari kita jaga laut kita. Mari kita perjuangkan masa depan Kepuauan Riau yang lebih adil dan berkelanjutan. (*)
Discussion about this post