OPINI – Rencana pemekaran wilayah Natuna dan Kepulauan Anambas menjadi sebuah provinsi baru di ujung utara Indonesia kembali menjadi perbincangan hangat. Di satu sisi, aspirasi ini mengusung semangat keadilan, pemerataan pembangunan, dan penguatan kedaulatan nasional. Namun di sisi lain, tak sedikit pihak yang mempertanyakan urgensi dan efektivitasnya di tengah beban fiskal negara dan tantangan tata kelola pascapemekaran di berbagai daerah lain.
LIDIKNUSANTARA.COM – Sejak tahun 2019, wacana pembentukan Provinsi Natuna–Anambas mulai dirumuskan secara serius oleh tokoh-tokoh daerah dan mendapat dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Bahkan, pada April 2025 lalu, Gubernur Kepulauan Riau saat itu menyampaikan bahwa pemekaran ini bukan sekadar ambisi politik lokal, melainkan kebutuhan geopolitik dan sosial yang mendesak.
Dalam laporan Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna dan Anambas, sejumlah indikator menunjukkan bahwa jarak pelayanan administrasi, keterbatasan infrastruktur, serta keterisolasian geografis telah memperlambat pembangunan kawasan ini secara signifikan.
Namun, sejarah panjang pemekaran wilayah di Indonesia memberi pelajaran berharga. Sebagaimana dicatat oleh Ryaas Rasyid dalam bukunya Membangun Pemerintahan Daerah yang Demokratis (2003), tidak semua pemekaran berhasil meningkatkan pelayanan publik atau kesejahteraan rakyat. Banyak daerah baru justru bergantung pada dana transfer pusat tanpa menunjukkan kemandirian fiskal yang memadai. Maka, kehati-hatian dalam mengabulkan aspirasi pemekaran menjadi sebuah keharusan, bukan sikap pesimistis.
Meski demikian, konteks Natuna dan Anambas menghadirkan argumen yang cukup kuat. Secara geografis, keduanya berada di kawasan strategis Laut Natuna Utara yang berbatasan langsung dengan zona sengketa Laut Cina Selatan. Pemerintah pusat telah memperkuat pengamanan wilayah ini dengan penempatan pangkalan militer dan modernisasi sistem pertahanan. Namun, pendekatan keamanan saja tidak cukup. Masyarakat setempat menginginkan pengakuan bahwa mereka bukan hanya pagar negara, tetapi juga bagian dari tubuh bangsa yang harus tumbuh dan berkembang secara utuh.
Dalam kunjungan Presiden Joko Widodo ke Natuna pada awal 2020, pesan simbolik tentang pentingnya wilayah ini sempat menggema secara nasional. Namun, setelah itu, publikasi dan prioritas anggaran tampak belum optimal.
Provinsi Kepulauan Riau yang menginduk dari pusat pemerintahan di Tanjungpinang dianggap terlalu jauh untuk menangani langsung kebutuhan pembangunan Natuna–Anambas yang unik dan kompleks. Perjalanan laut dari Ranai (Natuna) ke Tanjungpinang bisa memakan waktu hingga dua hari. Kondisi ini tentu menyulitkan koordinasi antar-instansi dan memperlambat pelayanan publik.
Lebih jauh, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kepulauan Riau tahun 2023, Kabupaten Natuna dan Anambas termasuk yang memiliki indeks kemahalan konstruksi tertinggi di Indonesia. Artinya, biaya pembangunan infrastruktur di sana jauh lebih mahal dibanding wilayah lain, akibat jauhnya distribusi logistik dan minimnya investasi sektor swasta. Dalam situasi seperti ini, otonomi provinsi bisa memberikan kelincahan dalam pengambilan keputusan dan alokasi anggaran berbasis kebutuhan lokal.
Di sisi lain, pemerintah pusat masih memberlakukan moratorium pemekaran provinsi dan kabupaten/kota yang sudah berlangsung sejak 2014. Alasannya jelas: terlalu banyak daerah hasil pemekaran yang akhirnya membebani anggaran negara. Namun, seperti dikemukakan oleh Prof. Djohermansyah Djohan, pakar otonomi daerah, dalam diskusi Forum Otda (2021), pemekaran seharusnya tidak ditutup total, tetapi dibuka secara selektif terhadap daerah-daerah strategis dengan urgensi tinggi.
Maka, usulan pembentukan Provinsi Natuna–Anambas seharusnya diposisikan bukan sebagai beban, melainkan sebagai investasi jangka panjang bagi ketahanan negara di wilayah perbatasan. Pemerintah dapat merumuskan parameter yang ketat, mulai dari kesiapan infrastruktur, desain kelembagaan, hingga roadmap fiskal jangka menengah agar pemekaran tidak menjadi asal-asalan.
Yang terpenting, pemekaran ini bukanlah permintaan elit lokal semata, tetapi suara kolektif dari masyarakat perbatasan yang selama ini merasa menjadi anak tiri pembangunan. Suara yang menginginkan akses yang adil terhadap pendidikan, kesehatan, konektivitas, dan harga kebutuhan pokok yang lebih wajar. Suara yang ingin menjadi bagian utuh dari Indonesia, bukan sekadar penanda di peta.
Sudah saatnya suara dari utara negeri ini didengar secara serius. Dengan pendekatan berbasis data, dialog terbuka, dan keberpihakan pada prinsip keadilan sosial, pembentukan Provinsi Natuna–Anambas bukan hanya layak untuk dibicarakan, tetapi juga untuk diperjuangkan. (*)
Discussion about this post